Sabtu, 14 Januari 2017

Gelora Islam Masa Kini, Melihat Kembali Nilai Idealisme Mahasiswa


Imam Fauzi @Mencoba mengkritisi

Bukan berarti harus berdebat dan berlaku radikal untuk mengharuskan sistem kepemimpinan sekarang seperti halnya sistem kepemimpinan era Rosulullah SAW dan sahabat. Walaupun sejatinya kita tidak pernah tahu, sistem seperti apakah yang paling baik yang harusnya diterapkan di Indonesia. Namun, bukan berarti kalimat sebelum ini merupakan ambiguitas penulis dalam mencoba memahami situasi pemerintahan di Indonesia. Karena penulis pun mempercayai bahwa sistem kepemimpinan demokrasi merupakan sistem yang paling baik di zaman sekarang. Terlebih lagi, sistem tersebut tidak hanya hasil dari perjuangan kaum elit politik terdahulu, namun tak lepas dari buah pemikiran dan perjuangan ulama yang ada di jajaran bumi pertiwi ini. Dan yang paling penting, nilai demokratis sudah sangat jelas di jabarkan dalam Kitabullah Al-Qur’anulkarim.
Jika hari ini kita sama-sama menyadari bahwa persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia semakin menurun, maka bukan hal yang ambisius kiranya penulis mengatakan “bukan lagi saatnya kita bermain-main”. Artinya, beberapa dekade ini umat Islam yang ada di Indonesia terombang-ambingkan hanya karena percaturan politik. Tidak usah jauh-jauh melihat perpolitikan yang ada di parlemen pusat, lihat saja kondisi geopolitik yang ada di kampus-kampus atau perguruan tinggi mana pun.
Postulat pertama: banyak diantara organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus yang mengatasnamakan perjuangan atau pergerakan mereka dengan nada “dakwah”. Jika saja pernyataan tersebut berhenti sampai disitu saja, mungkin tidak menjadi masalah. Namun, cara atau metode yang diterapkan beberapa organisasi kemahasiswaan yang ada di Indonesia yang serta merta mengerucut pada politik praktis (di dalam dan diluar kampus) yang dalam hal ini menurut penulis kurang tepat.
Penulis kira, tak ada satu mahasiswa pun yang mau dicap sebagai mahasiswa liberal, radikal, apa lagi pengemis jabatan. Postulat kedua: semuanya pasti beranggapan bahwa mahasiswa merupakan kaum pemikir, kaum yang berjiwa sosial tinggi dan kaum yang memegang teguh nilai-nilai agama. Atau lebih pendeknya, mahasisa merupakan satu-satunya kaum yang memiliki jiwa idealisme tinggi. Hanya saja jika melihat kondisi saat sekarang, banyak diantara mahasiswa yang justru terbawa pada arus pragmatis.
Jika anda pernah menyaksikan ada beberapa mahasiswa yang hanya menjalani kehidupan di lingkungan kampus untuk bersenang-senang, jika anda pernah mengalami indoktrinasi pada suatu paham tertentu, atau yang lebih parah adalah jika anda pernah merasa dibuang, diasingkan, dan bahkan diusir karena anda dianggap tidak sesuai dengan pemahaman yang ada di lingkungan anda, maka oknum-oknum tersebut bukan lagi mahasiswa yang berjiwa idealis. Mereka hanya berfikir dan bersikap pragmatis yang bersembunyi dibalik retorika idealis. Hal ini menjadi postulat ketiga.
Pendeknya, sampai saat ini kebhinekaan dari umat Islam sudah sangat banyak. yang masih kurang adalah ke-Tunggal Ika-an diantara kebhinekaan yang sudah ada. Dan sebagai kaum elit pelajar tertinggi (dalam hal ini mahasiswa), bukan lagi saatnya untuk bermain-main hanya karena perebutan “pengakuan, eksistensi, atau bahkan kekuasaan” yang bersembunyi dibalik jari dan mengatasnamakan dakwah.  Apa lagi memberikannya parameter tertinggi sebagai keberhasilan dakwah. Belajar politik, ya berpolitik. Belajar dakwah, ya berdakwah. Jangan sampai sebuah wewenang atau sebuah pengakuan itu diminta. Namun jika diberi amanah dan merasa mampu, maka jangan sekali-kali anda lari. Toh yang namanya pengakuan, hadiah, pujian, dan apresiasi, tanpa anda tempatkan sebagai tujuan pun anda pasti akan mendapatkannya. Jika memang anda benar-benar layak dan pantas untuk menerimanya.
Terakhir, mari kembali kita merenungkan hal-hal ruhani. Bukan hanya hal-hal indrawi saja. Dan mari kita kembali tiupkan ruh Kebhinekaan, serta ruh Tunggal Ika. Jangan sampai keduanya terpisahkan dari dalam hati kita. Bukan hal yang mustahil jika utopia akan didapatkan, jika semua umat Islam bersatu dan berpadu. Apa pun gerakannya, apa pun ormasnya sejauh sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Jangan sampai yang diluar sana memporak porandakan umat Islam yang masih seperti saat ini. Mari wujudkan umat Islam yang kokoh bersatu, sehat dalam berfikir dan berbudaya, cerdas dalam memutuskan, maksimal dalam beramal baik. Tidak saling menjatuhkan hanya karena berbeda pandangan, tidak mengucilkan hanya karena tidak sejalur dengan tujuan, tidak meninggalkan karena pernah melakukan kesalahan. Postulat keempat.


Rabu, 03 Juni 2015



PENGGUNAAN BAHASA DALAM SOSIAL MEDIA
(Gondes dan Mendes sebagai Fenomena Linguistic Structuralism, Kaitannya dengan Entitas Norma Kesopanan di Lingkungan Kampus)
Oleh:
Imam Fauzi[1]
NIM: 3401413023
Abstract
This article aims to describe the phenomenon of language use Gondes and Mendes on social media community associate with the norms of decency. The language used by the public is a reflection of the overall culture of the communities concerned. The use of the language system can also be interpreted differently, depending on who's wearing the language in its applications to daily life communication. The use of language in social media influenced the psychological condition and the condition of the human social environment, so that the choice of words (diction) is not only an expression expressions happy, compliment, or sad, but also in the form of swear hatred, angry and disappointed. The phrase that has meaning and rough that gondes and mendes is still common in social media environments such as facebook, twitter, and instagram.
Keywords: gondes, mendes, norms of decency.
Abstrak
            Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena penggunaan bahasa Gondes dan Mendes pada media sosial masyarakat di kaitkan dengan norma kesopanan. Dimana, bahasa yang digunakan oleh masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Penggunaan tata kebahasaan juga dapat diartikan berbeda-beda, tergantung siapa yang memakai bahasa tersebut dalam aplikasinya pada komunikasi kehidupan keseharian. Penggunaan bahasa dalam sosial media di pengaruhi kondisi psikis dan kondisi lingkungan sosial manusia, sehingga pilihan kata (diksi) tidak hanya berupa ungkapan ekspresi senang, pujian, atau sedih, namun juga berupa umpatan kebencian, marah dan kecewa. Ungkapan yang memiliki makna kasar yaitu gondes dan mendes sampai saat ini masih sering dijumpai pada lingkungan sosial media seperti facebook, twitter, dan instagram.
Kata kunci: gondes,mendes, norma kesopanan.

PENDAHULUAN
Fenomena kebahasaan atau bisa disebut bahasa dalam penggunaanya sangat dipengaruhi kondisi geografis dan sosiokultural. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sistem bahasa diartikan sebagai lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri, percakapan (perkataan) yg baik, tingkah laku yg baik, sopan santun, baik budinya, menunjukkan bangsa, budi bahasa atau perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan). Para ahli ilmu Linguistik memandang bahasa yang memengaruhi kebudayaan, bukan sebaliknya seperti yang dipelajari dalam ilmu Antropologi bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan atau salah satu unsur dari kebudayaan. Kemudian bagaimana keduanya saling memengaruhi sehingga antara bahasa dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan dan berjalan beriringan, bagimana memahami, memaknai dan mengomunikasikan kebudayaan dengan bahasa?
Kata gondes atau lebih sering di dengar dengan “ndes” yang sampai saat ini menjadi trend di wilayah Semarang menjadi sebuah tanda tanya, apakah makna sebenarnya dari kata gondes itu sendiri. Kata tersebut sering digunakan dalam pergaulan sehari-hari baik pada kalangan mahasiswa ataupun masyarakat pada umumnya. Kemudian dari manakah asal kata tersebut? Dan apa kaitannya dengan sistem kebahasaan atau bahkan etika bahasa dalam pergaulan anak muda?
Tulisan ini mencoba mengkaji permasalahan diatas berdasarkan teori Strukturalisme. Levi Strauss sebagai pencetus teori strukturalisme modern yang memandang bahasa sebagai kondisi bagi kebudayaan (Heddy Shri Ahimsa Putra, 2001). Dengan dasar teori struktural bahasa (sructural linguistic), Levi Strauss berhasil melihat sesuatu di balik penampakan karya manusia. Sesuatu di balik benda (wujud karya) tersebut bukan lagi berupa visi atau misi, melainkan berupa nilai atau makna yang secara tidak sadar telah membentuk ide, gagasan, atau pemikiran seseorang. Dengan dimikian dapat dikatakan apapun yang ada di dunia ini, menurut pandangan Lévi-Strauss merupakan sistem yang memiliki struktur-struktur yang mengaturnya (Hendri Jihadul Barkah, 2004). Adanya semacam korelasi antara bahasa dan kebudayaan bukanlah karena adanya semacam hubungan sebab akibat (kausalitas) antara bahasa dan kebudayaan, tetapi karena keduanya merupakan produk atau hasil dari aktivitas nalar manusia dalam upaya mengomunikasikan kebudayaan.
Mahasiswa sebagai kelompok pelajar yang dipandang mempunyai kemampuan intelektual lebih, pengetahuan atau wawasan luas dan kemampuan menganalisa suatu keadaan atau permasalahan dengan teliti, kritis dan selektif yang tidak jarang memilih penggunaan kata atau kalimat dalam komunikasi baik itu dengan teman, dosen, terlebih dengan orang-orang yang memiliki posisi dan kedudukan penting seperti rektor dan bahkan pejabat negara. Terlebih mahasiswa yang merupakan jembatan penghubung atau berperan sebagai perantara pembaharuan, yang dapat membantu masyarakat dalam mengomunikasikan suara atau aspirasi masyarakat. Dengan kata lain mahasiswa memiliki peran besar sebagai wajah dari masyarakat yang memiliki karakter dan kepribadian baik, mampu berkomunikasi dengan bahasa yang etis, sopan dan santun, apa lagi dengan mulai pudarnya nilai-nilai budaya lokal seperti bahasa Jawa yang justru harus di bangun kembali dan senantiasa di kukuhkan dalam praktiknya, bukan menggantikannya dengan budaya luar yang tidak jelas asal usulnya.
Fenomena gondes erat kaitannya dengan fenomena mendes yang juga sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, namun yang sangat banyak digunakan terutama pada kalangan mahasiswa adalah kata gondes yang dianggap  sebagai kata ganti panggilan, sapaan atau bahkan pengganti kata saudara, bro (brother), sist (sister). Setelah penulis melakukan riset pada beberapa mahasiswa, penulis mencoba memaparkan dan menganalisa fenomena kebahasaan gondes dan mendes dalam laporan ini, sebagaimana menjadi salah satu kajian dalam teori strukturalisme kebahasaan atau structural linguistic dari Levi Strauss dan bagaimana sudut pandang pengguna bahasa tersebut dalam praktik penggunaan kata gondes pada kehidupan sehari-hari di lingkungan kampus.

Rumusan Masalah
1.      Apakah arti dan makna gondes secara filosofis?
2.      Bagaimanakah kaitannya kata gondes dengan teori Strukturalisme kebahasaan Levi Strauss?
3.      Apakah arti dan makna dari kata gondes di kalangan mahasiswa?
4.      Bagaimanakah peran mahasiswa dalam upaya menyikapi fenomena gondes di lingkungan kampus?
5.      Bagaimanakah hubungan antara kata gondes dengan entitas norma kesopanan yang berlaku di lingkungan kampus?

PEMBAHASAN
Gondes, Mendes dilihat dari perspektif historis, paradigma mahasiswa, serta aktualisasinya dalam kehidupan kemahasiswaan dipandang dari segi norma kesopanan kehidupan lingkungan kampus
Gondes, Mendes di lihat dari makna filosofis
Kata gondes sering di ungkapkan sebagai pengganti kata bro, sist, yang bermakna saudara atau teman dalam kehidupan sehari-hari. Peristilahan dari satu kata tersebut memiliki fonem yang sama, baik di Semarang, Jogja dan sekitarnya, namun mempunyai makna berbeda. Biasanya kata gondes diartikan sebagai panggilan keakraban antar teman, namun lebih banyak di luar itu yang mengartikulasikan sebagai umpatan kasar sekelas asu, jancuk, dan monyet, sebagai ungkapan rasa marah, kecewa, atau ungkapan hinaan untuk orang yang di banci (A. Fadloli, 2012). Gondes, menurut kamus Semarangan dialek Semarang berarti Geblek (lebih halus dari goblog), namun konotasinya lebih berarti kepala batu, atau keras kepala, atau tidak bisa dibilangi atau dinasehati. Secara nasional, akhirnya menjadi akronim dari Gondrong Ndeso. Kata gondes lebih terkenal dan banyak dipakai dalam komunikasi anak-anak muda di kota Semarang walaupun sekarang sudah menyebar luas dari daerah asal kata tersebut. 
Menurut Bergass dan Duftpungkers, 2012 gondes merupakan singkatan dari gondrong ndeso (orang desa gondrong), bisa berarti orang gondrong yang ketinggalan jaman, biasa dipakai untuk mengejek orang yang memiliki rambut gondrong, udik, atau orang desa yang jarang pergi ke kota. Biasanya berpakaian gaya pedesaan, katrok namun berlagak kekotaan. Sebutan semacam jancuk, anjing, tai, yang sering digunakan di Semarang, biasanya disingkat menjadi "ndes" biasanya digunakan dalam kalimat seperti “cah kae raine nggateli yo?”, “he'e ndes, raine koyo sikil.......” yang dalam bahasa Indonesia, “anak itu mukanya aneh ya?”, “hu'um ndes, wajahnya kaya kaki.......” atau sebagai ungkapan rasa malu dan perasaan bersalah, seperti kalimat gondes banget nih gue salah pakek seragam” (Mantep dan Wawan, 2012). Kata gondes berupa singkatan dari bahasa Jawa (gon = nggon = empat/asal, dan des=deso=desa). Jadi gondes adalah orang yang berasal dari desa atau biasa di sebut orang udik. Mantep menambahkan bahwa gondes berarti gondrong ndeso atau goblok ndeso, seperti pada kalimat, “asu!! cah kui pancen gondes !!, he'e, mosok nguyuh ning hotel rak ngerti carane” atau dalam bahasa Indonesia, “asu!! Anak itu memang gondes, masa kencing di hotel tidak tahu caranya”.
Wawan membagi jenis penggunaan kata gondes kedalam tiga artian yaitu:
1.      Gondes murni, ini adalah gondrong desa murni, yaitu rambut gondrongnya murni atau bisa juga direbondingan, bukan hair extension.
2.      Gondes motor (vill longhair rider) semacam gondrong jalanan yg suka ngebut di jalanan.
3.      Gondes era millenium, walaupun mereka tidak gondrong tapi gondes mengalami perluasan makna, mereka yg tidak gondrong pun kena imbas.

Selain itu, lebih lanjut Bergass mengatakan jika selain istilah gondes juga dikenal adanya istilah lain yaitu mendes yang berarti mentelan ndeso dan diperuntukkan kepada perempuan yang sok kekecantikan. Bergass mengungkapkn ciri-ciri orang gondes dan mendes seperti dibawah ini:
Ciri-ciri gondes:
1.      Mempunyai nama Facebook alay.
Contoh: Aq Cieee Nax Guanteng Sing Tresno Karo KoW3 SaxModare SaxLawase.
2.      Penulisan SMS tidak menggunakan spasi tapi memakai titik (.) dan koma (,).
Contoh : ,.kamoe..,die,.mana,.nich? Q,,gi.otw.
3.      Suka memakai topi prlaon dan di bawah pelindung muka yang terdapat tulisan grafiti namanya atau yang lain.
4.      Mereka perokok keras dan sok-sokan jika sedang merokok.
5.       Mereka menyukai balapan motor liar menggunakan motor modif yang tidak jelas. 
6.      Suka memakai sepatu yang pada bagian samping sepatu longgar tidak jelas.

Ciri-ciri mendes:
1.      Mempunyai nama Facebook alay 
Contoh: Q ciee nax ayoene pouolll lsaxlawase saxmodeare sing tresno karo bojoku nananaininnenene.
2.      Kalau dandan meblok seperti badut.
3.      Memakai kerudung dan kelihatan poninya (aneh, weird, lol in the same time).
4.      Kalau di sms sama seperti gondes, susah di baca.

Dari pernyataan para peneliti terhadap fenomena gondes dan mendes diatas jika dilihat dari segi makna, penulis mengatakan bahwa fenomena tersebut merupakan perwujudan masyarakat yang mengalami cultural shock[2]. Cepat berkembang pesatnya arus globalisasi dan modernisasi mengakibatkan masyarakat menjadi kaget atau terkejut dengan adaya perubahan. Perubahan tersebut akan menyebabkan masyarakat yang memaknai perubahan juga mengalami perubahan dalam tingkah lakunya. Keterkejutan Budaya dapat dilihat pada masyarakat desa atau tradisional, dimana golongan yang konservatif akan berubah menjadi progresif terhadap perubahan yang terjadi, sementara golongan lain yang menerima perubahan seolah menjadi orang yang paling paham akan perubahan tersebut. Namun begitu adanya keterkejutan budaya ini terkadang banyak orang yang tidak bisa menjaga teknologi sebagai hasil perubahan tersebut. Fenomena gondes dan mendes inilah sebagai contoh dari orang yang mengalami cultural shock atau keterkejutan budaya.
Kemudian dari seluruh definisi dan makna dari dua kata gondes dan mendes tersebut timbul pertanyaan mengapa sampai saat ini tuturan/kata tersebut seolah masih menjadi up to date terutama dikalangan mahasiswa? Apakah mahasiswa yang menggunakan parole tersebut sebagai cerminan bagaimana suatu bahasa dapat digunakan secara individual dan menunjukkan kebebasan pribadi, juga menjadi orang yang terjangkit gondes atau mendes dalam aktualisasi kehidupannya? Dan bagaimana kita sebagai mahasiswa dalam menyikapi suatu penyampaian pesan dari langue, akankah kita mengekor pada sebatas pengetahuan diri sendiri yang memaknai suara-suara atau ucapan simbolik yang keluar dari mulut sebagai suatu kebenaran subjektif? Ataukah kita akan mempertanyakan dan mencari kebenaran umum dan objektif tentang suara atau ucapan simbolok tesebut?

Gondes dan Mendes dilihat dari Perspektif Linguistic Structuralism
Pada tahun 1940 saat perang dunia ke II, Levi Strauss pindah ke Amerika dan menetap di New York. Kepindahannya ke Amerika lebih disebabkan oleh persoalan rasial (Levi Strauss seorang Yahudi). Saat itu Perancis dikuasai oleh Jerman yang anti Yahudi. Ketika di New York, kecenderungan struktural yang sudah lama ada dalam diri Levi Strauss berkembang dan menjadi matang, berkat pertemuannya dengan ahli linguistik/bahasa dari Rusia, Roman Jakobson dan ahli filsafat Perancis, J.P. Sartre[3].
Persentuhan Levi Strauss dengan Roman Jakobson ini membawanya lebih dalam untuk mempelajari linguistic structural, yang akhirnya menjadi dasar dari teori antropologi budaya Levi Strauss. Analisis struktural ala Levi Strauss tersebut bersumber pada ilmu bahasa struktural (structural linguistics) Ferdinand de Saussure.
Diterangkan oleh Edith Kurzweil (dalam Hendri Jihadul Barkah, 2004) bahwa kajian bahasa stuktural Saussure dipandang oleh Levi Strauss sebagai sebuah sistem mandiri yang mendalilkan adanya suatu hubungan dinamis antara komponen setiap tanda linguistik, yaitu sistem bahasa (langue) dan tuturan individu (parole), serta antara citra bunyi (signifier) dan konsep (segnified). Berdasarkan atas dualisme tersebut, Levi Strauss menerapkan dengan sungguh-sungguh model analisis fonemik (yang dilakukan Jakobson), yang dalam lingustik struktural bertujuan untuk membuktikan bahwa struktur semua bahasa selalu mengikuti garis biner konstruksi paralel.
Bahasa sebagai sebuah sistem istilah yang saling tergantung (interclude pendent terms), dimana nilai dari setiap istilah atau kata adalah hasil dari kehadiran, keberadaan, istilah-istilah atau  kata-kata yang lain sekaligus, menstimulasikan pemakaian kata gondes dan mendes bermakna denotatif yaitu kawan dan saudara (dalam hal ini terlihat pada komunikasi antarmahasiswa). Pada aspek syncronic dan diacronic bermula dari yang kita kenal dengan panggilan/sapaan akrab dengan teman atau saudara seperti hai/halo...kamu/kawan/sob/sohib/teman, berkembang menjadi hai fren, hai plen, hai bro/brow/bray, hai sist. Saat ini ungkapan yang menandakan suatu hubungan keakraban tersebut berkembang dan berubah menjadi hai ndes...,hai cuk, lo gondes, lo emang jiancuk (parole yang berasal dan terkenal di wilayah Jawa Timur). Secara konseptual makna gondes dan mendes merupakan rasa solid, dekat, pergaulan masa kini dan keakraban bagi masyarakat yang menggunakan kata tersebut dengan lawan bicara yang sudah dikenal dekat (signified) dan menjadi bermakna kasar, pengumpat, atau ejekan yang keterlaluan jika dilihat dari segi makna suara atau makna kebenaran dari suara (signifier). Walaupun dalam penggunaan suatu kata atau tuturan di dialekan dengan kata atau tuturan yang lain, namun tetap saja bahwa makna kebenaran dari parole/tuturan individu yaitu gondes atau mendes tersebut adalah berarti kasar.
Aspek paradigmatic dan aspek syntagmatic dari bahasa adalah fariabel berikut yang juga ada kaitannya antara fenomena gondes atau mendes dengan Strukturalisme Levi Strauss. Suatu bahasa diwujudkan secara berurutan. Kata-kata diucapkan tidak pernah bersama-sama dan tidak pernah ada dua kata diucapkan sekaligus. Relasi syntagmatic sebuah kata ialah hubungan yang dimilikinya dengan kata-kata yang dapat berada didepannya atau dibelakangnya dalam sebuah kalimat, artinya dalam suatu kalimat terdapat sambung menyambungnya atau tersusun dari beberapa kata sehingga memiliki keterkaitan makna. Aspek bertutur secara linier dalam bahasa inilah yang disebut dengan syntagmatic. Aturan-aturan yang mengendalikan dalam aspek ini merupakan suatu yang nir sadar (Hendri Jihadul Barkah, 2004). Fenomena peristilahan gondes dan “mendes” memiliki jalinan relasi dengan kalimat-kalimat seperti “hai ndes, apa kabarmu ndes?, ora ngono to ndes...,” yang bermakna sebagai salam atau sapaan, juga dapat berupa “dasar koe ndes, dasar gondes, sialan koe ndes...” yang bermakna umpatan, bentakan, ataupun caci maki.
Aspek paradigmatic terdapat dalam hubungan asosiatif antara kata-kata yang ada dalam suatu kalimat atau tuturan dengan kata lain yang ada di luar kalimat tersebut (Hendri Jihadul Barkah, 2004). Dibuktikan seperti dalam penggunaan kata atau tuturan sapaan saudara, kawan, bro/brow yang dapat digantikan dengan ndes/gondes[4]. Dengan adanya contoh itu dapat dipahami bahwa pada dasarnya bahasa mengandung aspek syntagmatic dan paradigmatic sekaligus.
Menurut Levi Strauss (dalam Hendri Jihadul Barkah, 2004), sebagaimana halnya fenomena bahasa, fenomena sosial budaya juga dapat dikatakan memiliki aspek bahasa (langue) dan aspek tuturan individu (parole). Langue adalah aspek sosial dari bahasa, atau aspek struktural dari bahasa. Adanya aspek inilah yang memungkinkan kita menggunakan bahasa dalam komunikasi kita dengan orang lain yang mengenal bahasa yang sama. Aspek dari bahasa, dengan demikian tidak lain adalah tata-bahasa atau aturan-aturan yang ada pada ranah fonologis, morfemis, sintaksis dan simantis, yang pada umumnya bersifat tidak disadari atau tidak diketahui oleh pemakai bahasa itu sendiri. Walau tidak disadari bukan berarti aturan-aturan dari bahasa itu tidak ada. Parole atau tuturan individu merupakan aspek individual atau statistikal dari bahasa. Setiap orang akan memiliki parole yang berbeda-beda. Parole dapat dikatakan sebagai gaya atau style, seseorang individu menggunakan suatu bahasa. Hal tersebut yang mendasari penggunaan kata gondes berkembang pesat pada kalangan mahasiswa yang menjadi trendy, namun sedikit mengesampingkan kebenaran makna dari kata tersebut. Sehingga gaya atau style tersebut masih eksis sampai saat ini.
Pada aspek yang kelima atau yang terakhir yaitu aspek wadah (form) dan isi (content) perbedaan dari setiap kata terletak pada suara/bunyi dan konsep/gagasan. Dari situlah keduanya memberikan identitas pada setiap kata. Kata gondes ataupun mendes berbeda menurut suara atau bunyi dengan kata gendes, kempes, kates ataupun kades dan berbeda pula menurut konsep atau makna kebenarannya dengan kata teman/kawan, saudara, bro, sist. Walaupun paradigma yang sudah menjadi konsesus mahasiswa bahwa makna dari gondes sama artinya dengan kata teman/kawan, namun makna kebenarannya tidakalah demikian.

Sikap Mahasiswa terhadap Fenomena Gondes sebagai parole yang sudah menjadi konsensus bersama dan kaitannya dengan entitas norma kesopanan dalam kehidupan lingkungan kampus
Fenomena gondes dan mendes merupakan fenomena kebahasaan yang keberadaanya perlu dikomunikasikan atau disampaikan. Bahasa sebagai penyampaian pesan (Hendri Jihadul Barkah, 2004) menjadi hal yang substansial yang kebenarannya patut kita pertanyakan. Jika dalam mengomunikasikan pesan hanya sekedar mengandalkan konsensus kelompok tanpa memahami sejatinya suatu bahasa berasal dari masyarakat mana atau siapa yang pertama kali menyampaikan atau mengungkapkan bahasa yang awalnya masih berupa langue hingga kemudian menjadi parole dimana seorang individu bebas menuturkan bahasa tersebut sesuai makna yang Ia pahami dan inginkan. Seperti halnya tuturan gondes yang terkenal pada lingkungan mahasiswa dalam menyampaikan pesan yakni salam atau sapa, dimana bermakna subjektif sebagai kata ganti atau wujud perkembangan (syncronic dan diacronic) dari tuturan kawan dan saudara. Menjadi suatu persoalan serius bagi mereka (dalam hal ini mahasiswa) yang tidak terikat dalam konsensus mengenai makna gondes dan terkadang menjadi tidak respect terhadap orang-orang yang selalu mengatakan kata-kata tersebut[5]. Namun bagi mereka yang terikat akan konsensus kelompok mengenai makna gondes akan menganggap sebagai suatu hal yang wajar yang kebenaran maknanya tidak usah dipertanyakan lagi serta menjadi bahasa yang trendy sekalipun kata/tuturan/parole sudah ada sejak lama pada komunikasi masyarakat terutama di kota Semarang.
Kata gondes bermakna sama dengan kata “janjok/cuk” yang bermakna penegasan sapaan, umpatan kasar, melakukan hubungan tubuh/intim, yang artinya sama dengan kentu, ngewe, ngentot, ML (Making Love), fucking, get laid, senggama, ditimpa, dan lain-lain di daerah Jawa Timur (Agmiral Widi dan Agnescee, 2011) menjadi sebuah peristilahan yang sangat tidak sopan dan mengandung unsur sara, porno, atau bahkan pelecehan seksual. Menjadi ironi jika kata gondes merajalela dalam kehidupan kampus yang memiliki prinsip pembangunan karakter dan penanaman moral yang berkualitas dan berbudi pekerti luhur. Sesuai dengan tujuan pendidikan khususnya pendidikan di Perguruan Tinggi yang berpedoman pada tujuan pendidikan nasional, kaidah, moral, etika ilmu pengetahuan, kepentingan masyarakat serta memerhatikan minat kemampuan dan prakarsa budi (A.T. Soegito, 2013:177). Dengan maraknya penggunaan kata-kata seperti gondes/ndes, jancok/cok bertolak belakang dengan tujuan mulia pendidikn itu sendiri. Terlebih pada Perguruan Tinggi yang juga menyelenggarakan kegiatan (menjadi prinsip Perguruan Tinggi) yang disebut Thri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi:
1.      Pendidikan, merupakan kegiatan yang mengupayakan  dan mengembangkan manusia terdidik yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan IPTEK, dan seni;
2.      Penelitian, merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan pengetahuan empirik, teori, konsep, metodologi, model atau informasi baru guna memperkaya IPTEK dan seni;
3.      Pengabdian kepada masyarakat, merupakan kegiatan yang memanfaatkan IPTEK dalam upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.

Maka, menjadi seorang mahasiswa berarti juga harus menjadi seseorang yang terdidik, menjadi mahasiswa juga menjadi seorang peneliti, dan menjadi mahasiswa juga menjadi agen pembaharu bagi masyarakat luas yang kesemuanya dapat diraih dengan kesempurnaan pembelajaran dan memiliki moral atau kepribdian yang baik. Dan tidak pantas menerima tugas atau kewajiban (dharma) dari Tri Dharma Perguruan Tinggi tersebut jika dalam komunikasi keseharian masih memerlukan banyak sekali pembenahan, bukan semata-mata pembenahan pada hal yang keliru menuju pada hal yang lebih baik, melainkan perbaikan ucapan dari yang salah menjadi yang benar, karena mahasiswa merupakan kelompok masyarakat pencari ilmu yang sejatinya murni dan suci, serta tidak terpengaruh dengan perihal yang menjatuhkan derajat dan martabat mereka sendiri sebagai pencari ilmu.

PENUTUP
Parole atau bisa disebut tuturan individu dari “gondes” merupakan bahasa, karena gondes ada jika dikomunikasikan. Fenomena gondes sebagai salah satu bagian dari Linguistic Structuralism memiliki kebenaran makna jika benar-benar dianalisis, dipahami mengapa dan bagaimana kata gondes itu ada, kemudian untuk apakah kata tersebut digunakan dalam pembicaraan atau komunikasi keseharian.
Secara disadari bahwa mahasiswa menggunakan tuturan atau kata gondes hanya sebatas untuk berkomunikasi dengan teman yang sudah akrab, bukan bertujuan sebagai kata umpatan atau bahkan hinaan. Mahasiswa mengikuti gaya bahasa yang selalu menjadi trend pada setiap masanya. Bisa saja seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan kata tersebut akan luntur dan terus berganti dengan kata-kata (parole) yang pada eranya menjadi trend atau dianggap gaul. Namun secara garis besar bahwa penggunaan kata gondes sebagai kata ganti panggilan atau sapaan pada kalangan mahasiswa terbatas pada pengetahuan dan penafsiran mereka mengenai kata tersebut yang dianggap sebagai kata ganti kawan atau saudara, bukan sebagai kata-kata kotor apa lagi kata umpatan atau hinaan. Akan menjadi suatu masalah jika pengguna kata tersebut yang mengartikan makna kata gondes sebatas subjektifitas mereka dalam pengomunikasian dengan orang lain yang mereka tidak tahu bahwa orang lain tersebut memahami makna kebenaran dari kata gondes, karena bisa saja orang tersebut tidak terima dan dapat memicu terjadinya konflik. Disinilah perlu adanya pemahaman mengenai suatu makna kebenaran dari setiap tutur kata (parole) dan langue sebagai sistem dari suatu bahasa.
Pada pemaparan tulisan ini mungkin belum bisa menjelaskan secara benar-benar mendetail berkaitan dengan fenomena gondes dan mendes yang akhir-akhir ini menjadi kata yang tak pernah ketinggalan dalam komunikasi antarmahasiswa, namun apa yang menjadi kajian dalam penelitian ini,  setelah kita mengetahui dan memahami fenomena gondes dan mendes beserta makna filosofis dan makna realistisnya dilihat dari Teori Strukturalisme Linguistik Levi Strauss, semoga menjadi khasanah pengetahuan bagi kita semua bahwa apapun bahasa (langue) dan tuturan (parole), masing-masing mempunyai makna yang harus kita kaji kebenarannya agar dalam komunikasi keseharian tidak akan memermalukan diri kita sendiri dan kita dapat menuturkan sesuatu hal atau kata yang benar-benar kita pahami maknanya.
Saran untuk seluruh mahasiswa, mari kita berkomunikasi menggunakan bahasa yang baik dan benar, dan kita benar-benar memahami setiap kata yang keluar dari mulut kita, senantiasa berjiwa terbuka dengan setiap hal-hal baru namun tetap berfikir kritis, dengan artian memilah dan memilih apa-apa saja yang pantas kita pakai dan apa yang seharusnya tidak kita pakai. Semoga penelitian atau riset sederhana ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2010. Sejarah         Teori Antropologi I.    Jakarta;UI       Press
Kuning, Retno D.P. 2013.      Sosiologi.
Barkah Hendri J. 2004. Makalah        Claude Levi Strauss: Si           Empu Strukturalisme.
Soegito A.T. 2013. Pendidikan           Pancasila. Semarang; UNNES Press.
Mahmud, Mohd Zaidi. 2013. Motif Dan        Kekerapan       Penggunaan    Facebook        Dalam Kalangan             Pelajar            Universiti. Jurnal         Komunikasi Malaysian            Journal of        Communication.                         Bahiyah Omar Universiti                    Sains Malaysia.
Watie, Errika Dwi Setya. 2011.          Komunikasi dan Media           Sosial (Communications         and Social Media). Jurnal   The messenger. Jurusan           Ilmu Komunikasi         Universitas Semarang http://sosbud.kompasiana.com/           2011/05/31/strukturalisme-     levi-strauss-367417.htm          (18 Juni 2014)




[1]Mahasiswa Jurusan Sosiologi dan Antropologi S1 Universitas Negeri Semarang (UNNES), melakukan penelitian dan riset kecil-kecilan pada beberapa mahasiswa di kampus Fakultas Ilmu Sosial UNNES dan melakukan analisis komparatif dengan beberapa mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada tanggal 21-22 Juni dan tanggal 05-06 Juli 2014 berkenaan penggunaan istilah/tuturan kata “gondes” pada komunikasi antarmahasiswa di lingkungan kampus yang menjadi parole atau kebebasan individu dalam menggunakan peristilahan kata atau tuturan kata.
[2]  Cultural shock diartikan sebagai keterkejutan budaya. Keterkejutan budaya adalah goncangan jiwa atau mental masyarakat sebagai akibat belum adanya kesiapan menerima kebudayaan asing yang datang secara tiba-tiba.
[3]  Sekilas kisah perjalanan kehidupan Levi Strauss, riwayat hidup singkat Levi Strauss dalam Sejarah  Teori  Antropologi I:209, Koentjaraningrat, 2010
[4] Bukti dari jawaban informan penelitian yang di dapatkan oleh peneliti, melalui wawancara dengan beberapa mahasiswa dalam upaya mencari informasi sedetail mungkin terhadap penggunaan kata “gondes” yang sering terdengar pada komunikasi atau pembicaraan antarmahasiswa. Penelitian berlangsung selama di lingkungan kampus diluar proses perkuliahan, juga bertemu langsung dengan informan diluar lingkungan kampus.
[5] Ungkapan dari beberapa mahasiswa saat penulis melakukan wawancara. Dalam menilai kepribadaian seseorang (dalam hal ini mahasiswa) ataupun masyarakat pada umumnya setelah berhadap-hadapan kemudian penilaian dari segi cara berkomunikasi, gaya bahasa (berbicara). Jika dalam menyampaikan suatu pesan atau informasi, seseorang menggunakan bahasa yang baik dan sopan maka lawan bicaranya akan bersikap hormat dan menghargai. Lain halnya jika dalam suatu pembicaraan, lawan bicara menggunakan kata-kata kasar atau kata-kata kotor (walaupun yang mengungkapkan pembicaraan) tidak mengetahui makna kebenaran dari kata yang diungkapkan namun lawan bicaranya memahami setiap kata yang disampaikan oleh teman bicara (lawan bicara yang tidak mengetahui makna kebenaran kata yang dibicarakan) maka akan menyebabkan kondisi sentiment dan mengarah pada prejudice atau stereotype antar individu hingga menimbulkan kesenjangan sosial antarindividu bahkan menimbulkan perselisihan dan konflik.