PENGGUNAAN BAHASA DALAM SOSIAL MEDIA
(Gondes
dan Mendes sebagai Fenomena Linguistic Structuralism, Kaitannya
dengan Entitas Norma Kesopanan di Lingkungan Kampus)
Oleh:
NIM:
3401413023
Abstract
This article aims to describe
the phenomenon of language use Gondes and Mendes
on social media
community associate with the norms of decency. The language used by the public is a reflection of the overall culture of the communities
concerned. The use of the
language system can also be
interpreted differently, depending
on who's wearing the language in its
applications to daily life communication.
The use of language in social media influenced
the psychological condition and the condition of the human social environment, so that the choice of words (diction) is not only an
expression expressions happy,
compliment, or sad,
but also in the
form of swear hatred, angry and disappointed.
The phrase that has
meaning and rough that gondes and mendes is still common in social media environments
such as facebook, twitter,
and instagram.
Keywords: gondes, mendes, norms of decency.
Abstrak
Artikel
ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena penggunaan bahasa Gondes dan Mendes pada media sosial masyarakat di kaitkan dengan norma
kesopanan. Dimana, bahasa yang digunakan oleh masyarakat merupakan refleksi
dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Penggunaan tata
kebahasaan juga dapat diartikan berbeda-beda, tergantung siapa yang memakai
bahasa tersebut dalam aplikasinya pada komunikasi kehidupan keseharian. Penggunaan
bahasa dalam sosial media di pengaruhi kondisi psikis dan kondisi lingkungan
sosial manusia, sehingga pilihan kata (diksi) tidak hanya berupa ungkapan
ekspresi senang, pujian, atau sedih, namun juga berupa umpatan kebencian, marah
dan kecewa. Ungkapan yang memiliki makna kasar yaitu gondes dan mendes sampai
saat ini masih sering dijumpai pada lingkungan sosial media seperti facebook,
twitter, dan instagram.
Kata
kunci: gondes,mendes, norma kesopanan.
PENDAHULUAN
Fenomena
kebahasaan atau bisa disebut bahasa dalam penggunaanya sangat dipengaruhi
kondisi geografis dan sosiokultural. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sistem
bahasa diartikan sebagai lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh
anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri, percakapan (perkataan) yg baik, tingkah laku yg baik,
sopan santun, baik budinya, menunjukkan bangsa, budi bahasa atau
perangai serta tutur kata menunjukkan sifat dan tabiat seseorang (baik buruk
kelakuan menunjukkan tinggi rendah asal atau keturunan). Para ahli ilmu
Linguistik memandang bahasa yang memengaruhi kebudayaan, bukan sebaliknya
seperti yang dipelajari dalam ilmu Antropologi bahwa bahasa merupakan bagian
dari kebudayaan atau salah satu unsur dari kebudayaan. Kemudian bagaimana
keduanya saling memengaruhi sehingga antara bahasa dan kebudayaan tidak dapat
dipisahkan dan berjalan beriringan, bagimana memahami, memaknai dan mengomunikasikan
kebudayaan dengan bahasa?
Kata
gondes atau lebih sering di dengar
dengan “ndes” yang sampai saat ini menjadi trend
di wilayah Semarang menjadi sebuah tanda tanya, apakah makna sebenarnya dari
kata gondes itu sendiri. Kata tersebut sering digunakan dalam pergaulan
sehari-hari baik pada kalangan mahasiswa ataupun masyarakat pada umumnya.
Kemudian dari manakah asal kata tersebut? Dan apa kaitannya dengan sistem
kebahasaan atau bahkan etika bahasa dalam pergaulan anak muda?
Tulisan
ini mencoba mengkaji permasalahan diatas berdasarkan teori Strukturalisme. Levi
Strauss sebagai pencetus teori strukturalisme modern yang memandang bahasa sebagai
kondisi bagi kebudayaan (Heddy Shri Ahimsa Putra, 2001). Dengan
dasar teori struktural bahasa (sructural
linguistic), Levi Strauss berhasil melihat sesuatu di balik penampakan
karya manusia. Sesuatu di balik benda (wujud karya) tersebut bukan lagi berupa
visi atau misi, melainkan berupa nilai atau makna yang secara tidak sadar telah
membentuk ide, gagasan, atau pemikiran seseorang. Dengan dimikian dapat
dikatakan apapun yang ada di dunia ini, menurut pandangan Lévi-Strauss
merupakan sistem yang memiliki struktur-struktur yang mengaturnya (Hendri
Jihadul Barkah, 2004). Adanya semacam korelasi antara bahasa dan kebudayaan
bukanlah karena adanya semacam hubungan sebab akibat (kausalitas) antara bahasa
dan kebudayaan, tetapi karena keduanya merupakan produk atau hasil dari
aktivitas nalar manusia dalam upaya mengomunikasikan kebudayaan.
Mahasiswa
sebagai kelompok pelajar yang dipandang mempunyai kemampuan intelektual lebih,
pengetahuan atau wawasan luas dan kemampuan menganalisa suatu keadaan atau
permasalahan dengan teliti, kritis dan selektif yang tidak jarang memilih
penggunaan kata atau kalimat dalam komunikasi baik itu dengan teman, dosen,
terlebih dengan orang-orang yang memiliki posisi dan kedudukan penting seperti
rektor dan bahkan pejabat negara. Terlebih mahasiswa yang merupakan jembatan
penghubung atau berperan sebagai perantara
pembaharuan, yang dapat membantu masyarakat dalam mengomunikasikan suara atau
aspirasi masyarakat. Dengan kata
lain mahasiswa memiliki peran besar sebagai wajah dari masyarakat yang memiliki
karakter dan kepribadian baik, mampu berkomunikasi dengan bahasa yang etis,
sopan dan santun, apa lagi dengan mulai pudarnya nilai-nilai budaya lokal
seperti bahasa Jawa yang justru harus di bangun kembali dan senantiasa di
kukuhkan dalam praktiknya, bukan menggantikannya dengan budaya luar yang tidak
jelas asal usulnya.
Fenomena gondes erat kaitannya dengan fenomena mendes yang juga sering digunakan dalam
percakapan sehari-hari, namun yang sangat banyak digunakan terutama pada
kalangan mahasiswa adalah kata gondes
yang dianggap sebagai kata ganti
panggilan, sapaan atau bahkan pengganti kata saudara, bro (brother), sist (sister).
Setelah penulis melakukan riset pada beberapa mahasiswa, penulis mencoba
memaparkan dan menganalisa fenomena kebahasaan gondes dan mendes dalam
laporan ini, sebagaimana menjadi salah satu kajian dalam teori strukturalisme
kebahasaan atau structural linguistic
dari Levi Strauss dan bagaimana sudut pandang pengguna bahasa tersebut dalam
praktik penggunaan kata gondes pada
kehidupan sehari-hari di lingkungan kampus.
Rumusan
Masalah
1. Apakah arti
dan makna gondes secara filosofis?
2. Bagaimanakah
kaitannya kata gondes dengan teori Strukturalisme kebahasaan Levi Strauss?
3. Apakah arti
dan makna dari kata gondes di
kalangan mahasiswa?
4. Bagaimanakah
peran mahasiswa dalam upaya menyikapi fenomena gondes di lingkungan kampus?
5. Bagaimanakah
hubungan antara kata gondes dengan
entitas norma kesopanan yang berlaku di lingkungan kampus?
PEMBAHASAN
Gondes, Mendes dilihat dari perspektif historis,
paradigma mahasiswa, serta aktualisasinya dalam kehidupan kemahasiswaan
dipandang dari segi norma kesopanan kehidupan lingkungan kampus
Gondes, Mendes di lihat dari makna filosofis
Kata gondes sering di ungkapkan sebagai pengganti kata bro, sist, yang
bermakna saudara atau teman dalam kehidupan sehari-hari. Peristilahan dari satu
kata tersebut memiliki fonem yang
sama, baik di Semarang, Jogja dan sekitarnya, namun mempunyai makna berbeda.
Biasanya kata gondes diartikan
sebagai panggilan keakraban antar teman, namun lebih banyak di luar itu yang
mengartikulasikan sebagai umpatan
kasar sekelas asu, jancuk, dan monyet, sebagai
ungkapan rasa marah, kecewa, atau ungkapan hinaan untuk orang yang di banci (A.
Fadloli, 2012). Gondes, menurut kamus Semarangan dialek Semarang berarti Geblek
(lebih halus dari goblog), namun konotasinya lebih berarti kepala batu, atau
keras kepala, atau tidak bisa dibilangi atau dinasehati. Secara nasional,
akhirnya menjadi akronim dari Gondrong Ndeso. Kata gondes lebih terkenal dan banyak dipakai dalam komunikasi anak-anak
muda di kota Semarang walaupun sekarang sudah menyebar luas dari daerah asal
kata tersebut.
Menurut Bergass dan Duftpungkers,
2012 gondes merupakan singkatan dari gondrong ndeso (orang
desa gondrong), bisa berarti orang gondrong yang ketinggalan jaman, biasa dipakai
untuk mengejek orang yang memiliki rambut gondrong, udik, atau orang desa yang
jarang pergi ke kota. Biasanya berpakaian gaya pedesaan, katrok namun berlagak
kekotaan. Sebutan semacam jancuk, anjing,
tai, yang sering digunakan di Semarang, biasanya disingkat menjadi
"ndes" biasanya digunakan dalam kalimat seperti “cah kae raine
nggateli yo?”, “he'e ndes, raine koyo sikil.......” yang dalam bahasa
Indonesia, “anak itu mukanya aneh ya?”, “hu'um ndes, wajahnya kaya kaki.......”
atau sebagai ungkapan rasa malu dan perasaan bersalah, seperti kalimat gondes
banget nih gue salah pakek seragam” (Mantep dan Wawan, 2012). Kata gondes berupa singkatan dari bahasa Jawa
(gon = nggon = empat/asal, dan des=deso=desa). Jadi gondes adalah orang yang
berasal dari desa atau biasa di sebut orang udik. Mantep menambahkan bahwa
gondes berarti gondrong ndeso atau goblok ndeso, seperti pada kalimat, “asu!!
cah kui pancen gondes !!, he'e, mosok nguyuh ning hotel rak ngerti carane” atau
dalam bahasa Indonesia, “asu!! Anak itu memang gondes, masa kencing di hotel
tidak tahu caranya”.
Wawan
membagi jenis penggunaan kata gondes
kedalam tiga artian yaitu:
1. Gondes murni, ini adalah gondrong desa murni, yaitu
rambut gondrongnya murni atau bisa juga direbondingan, bukan hair extension.
2. Gondes motor (vill
longhair rider) semacam gondrong jalanan yg suka ngebut di jalanan.
3. Gondes era millenium, walaupun mereka tidak gondrong
tapi gondes mengalami perluasan makna, mereka yg tidak gondrong pun kena imbas.
Selain itu, lebih lanjut Bergass mengatakan jika selain istilah gondes juga
dikenal adanya istilah lain yaitu mendes yang berarti mentelan ndeso dan
diperuntukkan kepada perempuan yang sok kekecantikan. Bergass mengungkapkn
ciri-ciri orang gondes dan mendes seperti dibawah ini:
Ciri-ciri gondes:
1. Mempunyai
nama Facebook alay.
Contoh: Aq
Cieee Nax Guanteng Sing Tresno Karo KoW3 SaxModare SaxLawase.
2. Penulisan
SMS tidak menggunakan spasi tapi memakai titik (.) dan koma (,).
Contoh :
,.kamoe..,die,.mana,.nich? Q,,gi.otw.
3. Suka memakai
topi prlaon dan di bawah pelindung muka yang terdapat tulisan grafiti namanya
atau yang lain.
4. Mereka
perokok keras dan sok-sokan jika sedang merokok.
5. Mereka menyukai balapan motor liar menggunakan
motor modif yang tidak jelas.
6. Suka memakai
sepatu yang pada bagian samping sepatu longgar tidak jelas.
Ciri-ciri mendes:
1. Mempunyai
nama Facebook alay
Contoh: Q
ciee nax ayoene pouolll lsaxlawase saxmodeare sing tresno karo bojoku
nananaininnenene.
2. Kalau dandan
meblok seperti badut.
3. Memakai
kerudung dan kelihatan poninya (aneh, weird, lol in the same time).
4. Kalau di sms
sama seperti gondes, susah di baca.
Dari pernyataan para peneliti terhadap
fenomena gondes dan mendes diatas jika dilihat dari segi
makna, penulis mengatakan bahwa fenomena tersebut merupakan perwujudan masyarakat
yang mengalami cultural shock.
Cepat berkembang pesatnya arus globalisasi dan modernisasi mengakibatkan
masyarakat menjadi kaget atau terkejut dengan adaya perubahan. Perubahan
tersebut akan menyebabkan masyarakat yang memaknai perubahan juga mengalami
perubahan dalam tingkah lakunya. Keterkejutan Budaya dapat dilihat pada
masyarakat desa atau tradisional, dimana golongan yang konservatif akan berubah
menjadi progresif terhadap perubahan yang terjadi, sementara golongan lain yang
menerima perubahan seolah menjadi orang yang paling paham akan perubahan
tersebut. Namun begitu adanya keterkejutan budaya ini terkadang banyak orang
yang tidak bisa menjaga teknologi sebagai hasil perubahan tersebut. Fenomena gondes dan mendes inilah sebagai contoh dari orang yang mengalami cultural shock atau keterkejutan budaya.
Kemudian dari seluruh definisi dan
makna dari dua kata gondes dan mendes tersebut timbul pertanyaan
mengapa sampai saat ini tuturan/kata tersebut seolah masih menjadi up to date terutama dikalangan
mahasiswa? Apakah mahasiswa yang menggunakan parole tersebut sebagai cerminan bagaimana suatu bahasa dapat
digunakan secara individual dan menunjukkan kebebasan pribadi, juga menjadi
orang yang terjangkit gondes atau mendes dalam aktualisasi kehidupannya?
Dan bagaimana kita sebagai mahasiswa dalam menyikapi suatu penyampaian pesan
dari langue, akankah kita mengekor
pada sebatas pengetahuan diri sendiri yang memaknai suara-suara atau ucapan
simbolik yang keluar dari mulut sebagai suatu kebenaran subjektif? Ataukah kita
akan mempertanyakan dan mencari kebenaran umum dan objektif tentang suara atau
ucapan simbolok tesebut?
Gondes dan
Mendes dilihat dari Perspektif Linguistic
Structuralism
Pada tahun 1940 saat perang dunia ke
II, Levi Strauss pindah ke Amerika dan menetap di New York. Kepindahannya ke
Amerika lebih disebabkan oleh persoalan rasial (Levi Strauss seorang Yahudi).
Saat itu Perancis dikuasai oleh Jerman yang anti Yahudi. Ketika di New York,
kecenderungan struktural yang sudah lama ada dalam diri Levi Strauss berkembang
dan menjadi matang, berkat pertemuannya dengan ahli linguistik/bahasa dari
Rusia, Roman Jakobson dan ahli filsafat Perancis, J.P. Sartre.
Persentuhan Levi Strauss dengan
Roman Jakobson ini membawanya lebih dalam untuk mempelajari linguistic structural, yang akhirnya
menjadi dasar dari teori antropologi budaya Levi Strauss. Analisis struktural
ala Levi Strauss tersebut bersumber pada ilmu bahasa struktural (structural
linguistics) Ferdinand de Saussure.
Diterangkan oleh Edith Kurzweil
(dalam Hendri Jihadul Barkah, 2004) bahwa kajian bahasa stuktural Saussure
dipandang oleh Levi Strauss sebagai sebuah sistem mandiri yang mendalilkan
adanya suatu hubungan dinamis antara komponen setiap tanda linguistik, yaitu
sistem bahasa (langue) dan tuturan individu (parole), serta
antara citra bunyi (signifier) dan konsep (segnified).
Berdasarkan atas dualisme tersebut, Levi Strauss menerapkan dengan
sungguh-sungguh model analisis fonemik (yang dilakukan Jakobson), yang dalam
lingustik struktural bertujuan untuk membuktikan bahwa struktur semua bahasa
selalu mengikuti garis biner konstruksi paralel.
Bahasa sebagai sebuah sistem istilah
yang saling tergantung (interclude
pendent terms), dimana nilai dari setiap istilah atau kata adalah hasil
dari kehadiran, keberadaan, istilah-istilah atau kata-kata yang lain sekaligus,
menstimulasikan pemakaian kata gondes dan
mendes bermakna denotatif yaitu kawan
dan saudara (dalam hal ini terlihat pada komunikasi antarmahasiswa). Pada aspek
syncronic dan diacronic bermula dari yang kita kenal dengan panggilan/sapaan
akrab dengan teman atau saudara seperti hai/halo...kamu/kawan/sob/sohib/teman,
berkembang menjadi hai fren, hai plen, hai bro/brow/bray, hai sist. Saat ini
ungkapan yang menandakan suatu hubungan keakraban tersebut berkembang dan
berubah menjadi hai ndes...,hai cuk, lo gondes, lo emang jiancuk
(parole yang berasal dan terkenal di wilayah Jawa Timur). Secara konseptual
makna gondes dan mendes merupakan rasa solid, dekat, pergaulan masa kini dan
keakraban bagi masyarakat yang menggunakan kata tersebut dengan lawan bicara
yang sudah dikenal dekat (signified)
dan menjadi bermakna kasar, pengumpat, atau ejekan yang keterlaluan jika dilihat
dari segi makna suara atau makna kebenaran dari suara (signifier). Walaupun dalam penggunaan suatu kata atau tuturan di
dialekan dengan kata atau tuturan yang lain, namun tetap saja bahwa makna
kebenaran dari parole/tuturan
individu yaitu gondes atau mendes tersebut adalah berarti kasar.
Aspek paradigmatic dan aspek syntagmatic
dari bahasa adalah fariabel berikut yang juga ada kaitannya antara fenomena gondes atau mendes dengan Strukturalisme Levi Strauss. Suatu bahasa diwujudkan
secara berurutan. Kata-kata diucapkan tidak pernah bersama-sama dan tidak
pernah ada dua kata diucapkan sekaligus. Relasi syntagmatic sebuah kata ialah hubungan yang dimilikinya dengan
kata-kata yang dapat berada didepannya atau dibelakangnya dalam sebuah kalimat,
artinya dalam suatu kalimat terdapat sambung menyambungnya atau tersusun dari
beberapa kata sehingga memiliki keterkaitan makna. Aspek bertutur secara linier
dalam bahasa inilah yang disebut dengan syntagmatic.
Aturan-aturan yang mengendalikan dalam aspek ini merupakan suatu yang nir sadar
(Hendri Jihadul Barkah, 2004). Fenomena peristilahan gondes dan “mendes” memiliki jalinan relasi dengan kalimat-kalimat
seperti “hai ndes, apa kabarmu ndes?, ora ngono to ndes...,” yang bermakna sebagai salam atau sapaan, juga dapat berupa
“dasar koe ndes, dasar gondes, sialan
koe ndes...” yang bermakna umpatan,
bentakan, ataupun caci maki.
Aspek paradigmatic terdapat dalam hubungan asosiatif antara kata-kata
yang ada dalam suatu kalimat atau tuturan dengan kata lain yang ada di luar
kalimat tersebut (Hendri Jihadul Barkah, 2004). Dibuktikan seperti dalam
penggunaan kata atau tuturan sapaan saudara, kawan, bro/brow yang dapat
digantikan dengan ndes/gondes.
Dengan adanya contoh itu dapat dipahami bahwa pada dasarnya bahasa mengandung
aspek syntagmatic dan paradigmatic sekaligus.
Menurut Levi Strauss (dalam Hendri
Jihadul Barkah, 2004), sebagaimana halnya fenomena bahasa, fenomena sosial
budaya juga dapat dikatakan memiliki aspek bahasa (langue) dan aspek
tuturan individu (parole). Langue adalah aspek sosial dari
bahasa, atau aspek struktural dari bahasa. Adanya aspek inilah yang
memungkinkan kita menggunakan bahasa dalam komunikasi kita dengan orang lain
yang mengenal bahasa yang sama. Aspek dari bahasa, dengan demikian tidak lain
adalah tata-bahasa atau aturan-aturan yang ada pada ranah fonologis, morfemis,
sintaksis dan simantis, yang pada umumnya bersifat tidak disadari atau tidak
diketahui oleh pemakai bahasa itu sendiri. Walau tidak disadari bukan berarti
aturan-aturan dari bahasa itu tidak ada. Parole atau tuturan individu
merupakan aspek individual atau statistikal dari bahasa. Setiap orang akan
memiliki parole yang berbeda-beda. Parole dapat dikatakan sebagai
gaya atau style, seseorang individu menggunakan suatu bahasa. Hal
tersebut yang mendasari penggunaan kata gondes
berkembang pesat pada kalangan mahasiswa yang menjadi trendy, namun sedikit mengesampingkan kebenaran makna dari kata
tersebut. Sehingga gaya atau style tersebut
masih eksis sampai saat ini.
Pada aspek yang kelima atau yang
terakhir yaitu aspek wadah (form) dan
isi (content) perbedaan dari setiap
kata terletak pada suara/bunyi dan konsep/gagasan. Dari situlah keduanya
memberikan identitas pada setiap kata. Kata gondes
ataupun mendes berbeda menurut suara
atau bunyi dengan kata gendes, kempes, kates ataupun kades dan berbeda pula
menurut konsep atau makna kebenarannya dengan kata teman/kawan, saudara, bro,
sist. Walaupun paradigma yang sudah menjadi konsesus mahasiswa bahwa makna dari
gondes sama artinya dengan kata
teman/kawan, namun makna kebenarannya tidakalah demikian.
Sikap
Mahasiswa terhadap Fenomena Gondes sebagai
parole yang sudah menjadi konsensus
bersama dan kaitannya dengan entitas norma kesopanan dalam kehidupan lingkungan
kampus
Fenomena gondes dan mendes
merupakan fenomena kebahasaan yang keberadaanya perlu dikomunikasikan atau
disampaikan. Bahasa sebagai penyampaian pesan (Hendri Jihadul Barkah, 2004)
menjadi hal yang substansial yang kebenarannya patut kita pertanyakan. Jika
dalam mengomunikasikan pesan hanya sekedar mengandalkan konsensus kelompok
tanpa memahami sejatinya suatu bahasa berasal dari masyarakat mana atau siapa
yang pertama kali menyampaikan atau mengungkapkan bahasa yang awalnya masih
berupa langue hingga kemudian menjadi
parole dimana seorang individu bebas
menuturkan bahasa tersebut sesuai makna yang Ia pahami dan inginkan. Seperti
halnya tuturan gondes yang terkenal
pada lingkungan mahasiswa dalam menyampaikan pesan yakni salam atau sapa,
dimana bermakna subjektif sebagai kata ganti atau wujud perkembangan (syncronic dan diacronic) dari tuturan kawan dan saudara. Menjadi suatu persoalan
serius bagi mereka (dalam hal ini mahasiswa) yang tidak terikat dalam konsensus
mengenai makna gondes dan terkadang
menjadi tidak respect terhadap orang-orang
yang selalu mengatakan kata-kata tersebut.
Namun bagi mereka yang terikat akan konsensus kelompok mengenai makna gondes akan menganggap sebagai suatu hal
yang wajar yang kebenaran maknanya tidak usah dipertanyakan lagi serta menjadi
bahasa yang trendy sekalipun
kata/tuturan/parole sudah ada sejak
lama pada komunikasi masyarakat terutama di kota Semarang.
Kata gondes bermakna sama dengan kata “janjok/cuk” yang bermakna
penegasan sapaan, umpatan kasar, melakukan
hubungan tubuh/intim, yang artinya sama dengan kentu, ngewe, ngentot, ML
(Making Love), fucking, get laid, senggama, ditimpa, dan lain-lain di daerah
Jawa Timur (Agmiral Widi dan Agnescee, 2011) menjadi sebuah peristilahan yang
sangat tidak sopan dan mengandung unsur sara, porno, atau bahkan pelecehan seksual.
Menjadi ironi jika kata gondes
merajalela dalam kehidupan kampus yang memiliki prinsip pembangunan karakter
dan penanaman moral yang berkualitas dan berbudi pekerti luhur. Sesuai dengan
tujuan pendidikan khususnya pendidikan di Perguruan Tinggi yang berpedoman pada
tujuan pendidikan nasional, kaidah, moral, etika ilmu pengetahuan, kepentingan
masyarakat serta memerhatikan minat kemampuan dan prakarsa budi (A.T. Soegito,
2013:177). Dengan maraknya penggunaan kata-kata seperti gondes/ndes, jancok/cok
bertolak belakang dengan tujuan mulia pendidikn itu sendiri. Terlebih pada
Perguruan Tinggi yang juga menyelenggarakan kegiatan (menjadi prinsip Perguruan
Tinggi) yang disebut Thri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi:
1.
Pendidikan,
merupakan kegiatan yang mengupayakan dan
mengembangkan manusia terdidik yang memiliki kemampuan akademik dan/atau
profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan IPTEK,
dan seni;
2.
Penelitian, merupakan
kegiatan dalam upaya menghasilkan pengetahuan empirik, teori, konsep,
metodologi, model atau informasi baru guna memperkaya IPTEK dan seni;
3.
Pengabdian
kepada masyarakat, merupakan kegiatan yang memanfaatkan IPTEK dalam
upaya memberikan sumbangan demi kemajuan masyarakat.
Maka,
menjadi seorang mahasiswa berarti juga harus menjadi seseorang yang terdidik,
menjadi mahasiswa juga menjadi seorang peneliti, dan menjadi mahasiswa juga
menjadi agen pembaharu bagi masyarakat luas yang kesemuanya dapat diraih dengan
kesempurnaan pembelajaran dan memiliki moral atau kepribdian yang baik. Dan
tidak pantas menerima tugas atau kewajiban (dharma) dari Tri Dharma Perguruan
Tinggi tersebut jika dalam komunikasi keseharian masih memerlukan banyak sekali
pembenahan, bukan semata-mata pembenahan pada hal yang keliru menuju pada hal
yang lebih baik, melainkan perbaikan ucapan dari yang salah menjadi yang benar,
karena mahasiswa merupakan kelompok masyarakat pencari ilmu yang sejatinya
murni dan suci, serta tidak terpengaruh dengan perihal yang menjatuhkan derajat
dan martabat mereka sendiri sebagai pencari ilmu.
PENUTUP
Parole atau bisa
disebut tuturan individu dari “gondes” merupakan bahasa, karena gondes ada jika dikomunikasikan.
Fenomena gondes sebagai salah satu
bagian dari Linguistic Structuralism memiliki
kebenaran makna jika benar-benar dianalisis, dipahami mengapa dan bagaimana
kata gondes itu ada, kemudian untuk
apakah kata tersebut digunakan dalam pembicaraan atau komunikasi keseharian.
Secara disadari bahwa mahasiswa menggunakan
tuturan atau kata gondes hanya
sebatas untuk berkomunikasi dengan teman yang sudah akrab, bukan bertujuan
sebagai kata umpatan atau bahkan hinaan. Mahasiswa mengikuti gaya bahasa yang
selalu menjadi trend pada setiap
masanya. Bisa saja seiring dengan berjalannya waktu, penggunaan kata tersebut
akan luntur dan terus berganti dengan kata-kata (parole) yang pada eranya menjadi trend atau dianggap gaul. Namun secara garis besar bahwa penggunaan
kata gondes sebagai kata ganti
panggilan atau sapaan pada kalangan mahasiswa terbatas pada pengetahuan dan
penafsiran mereka mengenai kata tersebut yang dianggap sebagai kata ganti kawan
atau saudara, bukan sebagai kata-kata kotor apa lagi kata umpatan atau hinaan.
Akan menjadi suatu masalah jika pengguna kata tersebut yang mengartikan makna
kata gondes sebatas subjektifitas
mereka dalam pengomunikasian dengan orang lain yang mereka tidak tahu bahwa
orang lain tersebut memahami makna kebenaran dari kata gondes, karena bisa saja orang tersebut tidak terima dan dapat
memicu terjadinya konflik. Disinilah perlu adanya pemahaman mengenai suatu
makna kebenaran dari setiap tutur kata (parole)
dan langue sebagai sistem dari suatu
bahasa.
Pada pemaparan tulisan ini mungkin
belum bisa menjelaskan secara benar-benar mendetail berkaitan dengan fenomena gondes dan mendes yang akhir-akhir ini menjadi kata yang tak pernah
ketinggalan dalam komunikasi antarmahasiswa, namun apa yang menjadi kajian
dalam penelitian ini, setelah kita mengetahui
dan memahami fenomena gondes dan mendes beserta makna filosofis dan makna
realistisnya dilihat dari Teori Strukturalisme Linguistik Levi Strauss, semoga
menjadi khasanah pengetahuan bagi kita semua bahwa apapun bahasa (langue) dan tuturan (parole), masing-masing mempunyai makna
yang harus kita kaji kebenarannya agar dalam komunikasi keseharian tidak akan
memermalukan diri kita sendiri dan kita dapat menuturkan sesuatu hal atau kata
yang benar-benar kita pahami maknanya.
Saran untuk seluruh mahasiswa, mari
kita berkomunikasi menggunakan bahasa yang baik dan benar, dan kita benar-benar
memahami setiap kata yang keluar dari mulut kita, senantiasa berjiwa terbuka
dengan setiap hal-hal baru namun tetap berfikir kritis, dengan artian memilah
dan memilih apa-apa saja yang pantas kita pakai dan apa yang seharusnya tidak
kita pakai. Semoga penelitian atau riset sederhana ini dapat memberi manfaat
bagi kita semua. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2010. Sejarah Teori Antropologi
I. Jakarta;UI Press
Kuning, Retno D.P. 2013. Sosiologi.
Barkah Hendri J. 2004.
Makalah Claude Levi Strauss: Si Empu
Strukturalisme.
Soegito A.T. 2013. Pendidikan
Pancasila. Semarang; UNNES Press.
Mahmud, Mohd Zaidi. 2013. Motif
Dan Kekerapan Penggunaan Facebook Dalam
Kalangan Pelajar Universiti. Jurnal Komunikasi Malaysian Journal
of Communication. Bahiyah Omar Universiti Sains Malaysia.
Watie, Errika Dwi Setya. 2011. Komunikasi dan Media Sosial (Communications
and Social Media). Jurnal
The messenger. Jurusan
Ilmu Komunikasi Universitas Semarang http://sosbud.kompasiana.com/ 2011/05/31/strukturalisme- levi-strauss-367417.htm (18 Juni 2014)
Mahasiswa Jurusan Sosiologi dan
Antropologi S1 Universitas Negeri Semarang (UNNES), melakukan penelitian dan
riset kecil-kecilan pada beberapa mahasiswa di kampus Fakultas Ilmu Sosial
UNNES dan melakukan analisis komparatif dengan beberapa mahasiswa Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS) pada tanggal 21-22 Juni dan tanggal 05-06 Juli
2014 berkenaan penggunaan istilah/tuturan kata “gondes” pada komunikasi
antarmahasiswa di lingkungan kampus yang menjadi parole atau kebebasan individu dalam menggunakan peristilahan kata
atau tuturan kata.