I’m
dreaming,I’m never die
Embun
membias dalam keheningan teki,menampakan silau menyinari padang yang melebar.
Nuri menyambut dengan kicaunya, auman Boby semakin terasa di gendang telinga.
Terpaksa Aku harus melempar kenyamanan berganti dengan dinginnya air muara.
Seperti biasa Boby berlagak manja mengelilingi kaki kecilku.
“Hai Bob,pagi yang indah ya? Wah tambah
gemuk kamu.”
Aktifitas
rutin setiap pukul 05.00 Bunda tercinta menyiapkan segalanya. Di luar kebiasaan
Bunda-bunda yang lain, Bundaku selalu tahu apa yang aku butuhkan.
“Ok Bund,semua sudah clear Aku akan berjuang kembali dengan
teman-temanku.” Kataku sambil mencium bunga yang mewangi hasta Bundaku.
“Ok juga Zi” jawab Bunda dengan mawar merekah
di bibirnya. 07.00 bel berdering, kala
itu Aku tidak mmengikuti pelajaran seperti biasa,maklum “Pelacara” alias
pelajar banyak acara. Pada komunitas “Pabean” (Pelajar Be an Enough) yang
selalu melakukan kegiatan di luar azaz kebiasaan FORDIKIN atau yang dikenal
dengan Forum Pendidikan Indonesian. Lembaga disuatu Republik yang terdiri dari
komunitas-komunitas pelajar diwilayah Indonesian. Ini tak disebut organisasi,
melainkan perkumpulan non formal pelajar seusia SMA. Walaupun tak dihindarkan
banyak anak sekolah lanjutan tingkat atas yang ikut berkecimpung didalamnya.
“Zahdan, bagaimana dengan programmu
kemarin, apa yang dikatakan oleh R. Zeas mengenai ide cemerlangmu?” Fertoon menepuk punggung
Zahdan dari belakang diteras basecamp kami. “Entahlah, aku tak paham dengan mindset R. Zeas, pemimpin kita. Perkataanku
sepertinya tak sejalan denganya”.
“Bagaimana
kalau kita konsul sama Ozi? Dia lebih berpengalaman dari kita?” Fertoon dan
Zahdan berlalu menemui Ozi yang lebih dulu ikut komunitas Pabean. Namun Ozi pun
tak banyak berkata. Ia hanya meyakinkan Zahdan untuk tetap antusias dalam
menyelaraskan fikiranya dengan R. Zeas. R. Zeas adalah pimpinan tertinggi pada
komunitas Pabean yang ada di Senior High School of Espansa. Dia sangat jenius
untuk ukurana anak SMA. Tiba-tiba R. Zeas menyambar bagai gemuruh musim ketujuh
yang amat mendayu.
“Ozi,
aku tegaskan padamu untuk mencekal dua anggota baru kita!”.
“maksudnya
Zahdan dan Fertoon? Apa maksudnya mencekal perkataanmu tadi?” R. Zeas berlalu
begitu saja bagai angin sayup yang tak bergumam apa-apa. Padahal nadanya yang
menggelegar tadi sangat memekikkan telinga. Ah, memang dia sifatnya seperti
itu. Jenius memang benar, tapi kalau begini pantas kami pada merinding.
“Huft…., komunitas macam apa yang
punya pemimpin seperti dia, hah dasar!” gumamku dalam hati.
Minggu
kedua aku memberanikan diri untuk menanyakan pada R. Zeas, namun seperti biasa
dia buru-buru dan hanya meninggalkan beberapa kalimat.
“Tuntun mereka, agar mereka mengerti
satu sama lain, jangan sampai aku menyaksikan mereka tetap mempertahankan
pendapat yang tak lazim walau itu logis!”
Wuzzzzsssss…………..,
gaya jalannya yang selalu sama
meninggalkanku yang belum merespon perkataannya.
“Jika saja dari kemarin gamblang
seperti ini, aku tak perlu pusing menghitung satu, dua, tiga untuk mencari hari
yang tepat untuk menemuimu seperti sekarang. Pak ketua, pak ketua.”
Memang
sulit memahami karakter seseorang, aku yang lebih banyak menjadi pengamat
keadaan hanya bisa mengangguk dan selebihnya complaint pada anggota baru yang tak sesuai aturan. Seperti inilah,
kadang mereka suka denganku namun tak jarang aku menjadi sasaran amuk debat
mereka.
Sorepun
merambah dengan gagah, berganti dengan gelap dan rapat-rapat. Malampun
kelam…………….
Sudah sepuluh kertas yang aku sobek
karena ketidak sesuaian narasi seperti yang sebenarnya aku inginkan. Kalimatku
terputus saat selesai memberikan tanda titik setelah kata “logis”. “Wah benar
fikiranku susah di ajak kompromi kali ini, padahal tugas besok merupakan
penilaian terakhir sebelum babak ahir periode ini. Aku terus memikirkan kalimat
R. Zeas tadi siang. Kacau!!!!!!!
Syamspun menampakkan sinarnya, saatnya
aku harus mempresentasikan program tiga minggu kedepan.
“Terimakasih
atas waktu yang di sediakan, langsung saja dalam pembahasan kita season ini akan di adakan program lanjutan,
mulai dari team work from class, marger beberapa komunitas, dan yang
terakhir pembentukan komunitas kecil sebagai partner pabean…………………” kalimatku
terputus oleh Zahdan.
“Maaf, itu sangat tidak logis jika ada
komunitas di dalam komunitas. Apa jadinya pabean yang se-high ini harus mempunyai partner. Image baru apa yang akan kita dapatkan, saya rasa iti mustahil.
Namun kedua hal di awal tadi sepertinya mungkin”. Semua pengurus pabean
tercengang tak menyangka, Zahdan yang baru 4 bulan bergabung di komunitas
pabean mengeluarkan kalimat yang mencekik itu. Awalnya seluruh pengurus
terpana, namun serentak mengalihkan perhatian padaku karena mereka sadar bahwa
Zahdan itu terlalu mengunggulkan pendapatnya yang tak lazim meskipun logis. Aku
teringat kembali kata-kata R. Zeas. Akupun menanggapi apa yang di ungkapkan
Zahdan
“Zahdan, kamu belum tau cara kita
untuk mendirikan komunitas kecil itu, dan belum tahu kita akan mulai bekerja
dari mana, berikan waktu padaku untuk menyelesaikan pembahasan program kita!”.
Zahdan langsung meluruskan kakinya dan sedikit menarik gas dalam penyetiran
kalimatnya.
“Tapi tetap itu sulit dan mustahil”.
Dia keluar dari basecamp tanpa izin. Tanpa
basa basi aku menyelesaikan presentasi dan rapat koordinasipun usai. Seperti
rutinitas yang tak terencana sebelumnya, setelah rapat kemudian membahas
kondisi personalia seluruh pengurus pabean. Hari itu benar-benar ada satu orang
yang menjadi titik objek perbincangan. Ya “Zahdan orangnya. Dia seorang remaja
berkulit putih, bermata bulat dan sangat berani mengungkapkan gagasan, walau mungkin diluar kendalinya.
Siangpun larut berganti dengan senja kemerahan pada gugusan awan bintang.
Seluruh pengurus pabean berlalu lalang menyetir sepeda motor guna kembali ketempat asal. Namun Zahdan
dengan wajah merah padamnya membakar keadaan. Dia menderik bagai jangkrik dalam
keheningan. Kesunyian merongrong kekesalan yang memang saat itu dalam keadaan cape,
lesu dan sore pula. Dilema itu kontras diawali Zahdan dan Aku.
“Ozi, ayolah…. Mustahil kita dapat menumbuhkan
daging dalam daging! itu hanya hal yang memakan waktu dan pikiran besar saja”.
Terulang kembali sifatnya yang suka mendebat dan mengungkapkan respon “disagree”
pada orang lain. Namun tak pernah kuanggap serius dia. Terkadang dia sangat
fleksibel untuk beberapa keadaan. Anak yang satu ini memang benar-benar
mengandung ego dan mengundang kontra. Peristiwa yang benar-benar membuahkan
kontroversi pada komunitas pabean ahirnya tercium oleh FORDIKIN, namun
sepertinya acuh.
“Zahdan,
tidak masalah dengan argumenmu tadi itu sangat menantang, Akupun suka berdebat
sepertimu disaat yang memekik. Itu bukan progamku namun agenda kita yang telah
disepakati minggu kedua bulan ini”.
“so
I say a little pray, and hope my dream will take me there…..
Where
the skys are blue to see you once again…..
Overseas
from coast to coast to find a place I love the most…..
Where
the field are green to see you once again….
MY
LOVE…….”
Nada
itu sangat menarik perasaan. Itu yang berulang kali aku dengar saat bosan
mengerjakan tugas untuk memanjakan pikiran sejenak. Ternyata Zahdan juga
menyukai liriknya. Anak itu benar-benar aneh dari awal kami kenal dengan
perdebataan kini ia berlalu dengan sebuah irama dari West Life itu. Wah semoga
hari esok menjadi sekelumit kisah yang lebih menarik dari kemarin, Aku menutup
buku tugasku dan membaringkan diri bersama Boby.
“Selamat malam Boby”, malam berlalu
begitu cepat, begitu erat aku menarik selimut dari Boby yang ada disamping
kananku. Akhirnya beningpun menembus kaca peraduanku, hilang sudah kenyamanan “Take a rest” untuk jam ini. Pagi itu
menjadi tour yang sangat menakjubkan,
keajaiban datang. Kebiasaan aku dan Zahdan yang selalu berbeda fikiran kini
kami saling menyatu dan menjadi duo yang sangat kompak. Kesana kemari kami
menjadi tim yang tidak dimiliki pengurus lain. Zahdan tetap dengan style dan nada iramanya yang berdenting
tak kenal tempat dan saat. Sugesti itu benar-benar merasuk pada diri kami,
sesuatu yang selalu kami yakini adalah “Kami berbeda, karena itu kami cocok
untuk jadi teamwork”
Tatkala
telah terlaksana, tanpa ada saling sudut dan saling lempar serta coorporate yang selalu tertancap dalam
diri. Sampailah dimana ranting itu berbunga begitu merekah. Zahdan mengatakan
tak mungkin daging itu tumbuh dalam daging, nyatanya sekarang kumpulan daging
itu meranting, bercabang dan menghasilkan bunga yang benar-benar bermakna.
Untuk beberapa kejurda, forum debat presentasi kami dapatkan mewakili pabean
dan Espansa. Banyak komunitas yang kami kalahkan, walau sebagian orang tidak menggemari
sebuah pertentangan namun tak dapat dihindarkan bahwa kompetisi pasti ada.
“Aku
sangat bangga, tim kita akhirnya mempunyai image
yang baik. Dulu Aku pernah mempunyai teamwork
seperti ini, namun rekanku berkhianat dan sekarang lenyap dari komunitas
pabean”benarlah, seperti apa tabiatku yang saat mempercayai orang akan
bertindak “Open full”. Sikap
keterbukaan yang mungkin tak ada batas, itu kulakukan atas dasar berani menjadi
kawan atau timku harus berani menerima Aku apa adanya. Namun pikiranku kali ini
meleset, tiga bulan kami berdua menyandang julukan “The Best Member Community” dan pada kurun itu pula keretakan
dimulai. Zahdan tidak menyukaiku karena dulu aku menganggap Marsh Honton
penghianat, Zahdan juga kenal dekat dengan Marsh Honton. Aku berusaha
meyakinkan, namun Zahdan adalah Zahdan yang selalu bersikukuh dengan
argumentnya. Pagi itu benar adanya Aku membaca pesan dari partnerku Zahdan.
“Ozies
landfic partnerku, Aku rasa telah kenal lama jauh sebelum kau mengenal MH (
Marsh Honton ), untuk itu Aku rasa kita tidak sejalan dan Aku berharap relasi
kita berakhir”.
Seketika
semerbak hangat teh dipagi itu Aku rasakan hingga keujung kaki, untung bukan
pecahan gelas yang aku injak. Awan gemuruh berlarian dan menghitam, Aku tak
dapat berkata-kata. Pilu merambat hingga keujung rambut, bertabrakan dengan
panas teh yang baru Aku aduk dan pecah. Dua hingga tiga jam kejernihan pikiranku
tak kunjung berlabuh, Aku belum bisa membalas memo tronik dari Zahdan. Setelah
lima jam berlalu Aku menulis beberapa kalimat yang intinya bukan ungkapan apa
dan mengapa namun berusaha agar fikiran Zahdan berubah lewat intuisi bahwa ini
tak seperti yang Zahdan kira. Itu terakhir kami berkomunikasi dibulan itu
sebelum akhir bulan. Walau kami merupakan pengurus disuatu komunitas yang sama
dan menjadi tim yang padu, sejak saat itu kami saling bertolak tak ada sapa
ataupun tanya. Kami berdua acuh satu
sama lain dan saling membelakangi. Mencoba kugambarkan dalam alunan rindu itu
tentang arti sebuah relationship dan team work untuk semua yang telah kami
capai menjadi hambar dan tak lagi hangat untuk diperbincangkan. Apa lagi setelah Zahdan menutup kalimatnya dengan
“hidupmu hidupmu, hidupku hidupku”. Mau bilang teriris hati ini nyatanya telah
hancur,mau bilang jahat realita mengatakan kalimat itu lebih dari sekedar
merenggut nadi kebahagiaanku.
Namun aku bukanlah serapuh buih di
lautan itu. Sudah banyak yang memberi dukungan pada kami waktu sebelumnya, aku
tak mungkin berpindah haluan. Kini kami berjuang sendiri-sendiri. Tepat pada
olimpiade besar,lomba presentasi seluruh Indonesian dan dalam satu komunitas
boleh mengirimkan lebih dari satu perwakilan lomba. Aku dan Zahdan menjadi
ujung tombak Pabean, kami berdua bersaing hingga akhirnya semua selesai dan Aku
keluar menjadi juaranya. Peristiwa itu membuat Zahdan bertambah kacau dan kian
mempunyai perasaaan sentiment
kepadaku. Hingga saat itu,ketika Zahdan kehilangan arah dan perlahan tampak
sepertinya Ia berbalik kembali kepadaku. Ini terjadi karena saat itu Zahdan tak
lagi mendapat pendukungnya, dia di acuhkan dan komunitas kami mengambil langkah
“Ostratisme” yakni suatu tindakan
dengan mengacuhkan atau hampir menganggap tak ada pada si pembuat masalah. Itu sangat
menyakitkan memang, namun karena sebuah konsekuensi maka tak dapat dihindarkan
lagi. Saat dimana Zahdan dan Aku berakomodasi tak berlangsung panjang. Hingga konsiliasi atau kesepakatan yang kami
ambil belum mencapai titik pasti, ternyata malah Aku yang harus angkat kaki
dari Pabean. Aku tak menyalahkan Zahdan, karena itu mungkin terbaik bagiku.
R. Zeas juga sudah meyakinkanku akan
hal ini, dan dialah yang secara langsung memberitahuku. Memang keputusan itu
sangat tabu dan instan, disaat Aku mulai menemukan segumpal manis kehidupan dan
emas kejayaan. Tapi Aku tersadar karena Aku yakin kedepannnya Zahdan dapat
membina diri lebih baik dariku. Kami berdua hingga sekarang masih beradu
pendapat, walau tak seasyik dulu. Ternyata intan yang belum di gosok secara
penuh lebih berharga dari pada intan yang telah terjual. Meski orang-orang
menikmati gemerlap intan itu, namun mereka akan lebih melihat hal yang baru dan lebih istimewa dari intan yang belum di
gosok. Walau belum nyata teraba, namun di dalamnya ada inovasi yang luar biasa.
“Ozy…………,Faozy, kamu sadar sayang?
Syukurlah akhirnya kamu membuka mata lagi”. Bunda memeluk erat tubuhku dengan
cucuran air mata yang amat berharga. Dua minggu koma rasanya seperti dua tahun
tak melihat dunia. Zah Daniel (Zahdan) turut melihatku dengan pilu. Aku bangkit
dan memeluk Zahdan erat, dia bingung dengan sikapku. Akupun akhirnya usai
menceritakan seluruh alam bawah sadar yang Aku alami selama dua minggu
berbaring di rumah sakit. Aku menjadi malu, kenyataanku di sekolah yang
bermalas-malasan dan lebih banyak mencari kesenanganku sendiri, Aku begitu
bangga menjadi juara dalam mimpi belaka. Namun yang terpenting sekarang adalah
Aku tak akan pernah melepaskan orang-orang di sekelilingku yang menyayangi dan
menerimaku apa adanya. Dan hari itu aku mendapat satu pelajaran berharga, yakni
“seberapa besar jadiya Aku kelak, ditentukan seberapa besar Aku menjalani
setiap detik hari ini”.
03
Desember 2012
Imam
Fauzi, XII IPS 1